Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn. S Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Pre & Post Laparotomi Akibat Ileus Obstruktif Di Ruang VIII RSUD XX

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Ileus Obstruktif
1. Pengertian
Ileus obstruktif adalah blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus, dan makanan, dapat secara mekanis atau fungsional (Iin Inayah, 2004 : 202).
Ileus obstruktif terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga karena hambatan terhadap rangsangan saraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya blockage (Barbara C. Long, 1996 : 242).
Intestinal obstruction is the partial or complete mechanical or non mechanical blockage of the small or large intestine. (Gale Encyclopedia of Medicine, Published December, 2002, www.google.com)
Intestinal obstruction is blockage of the inside of the intestines by an actual mechanical obstruction (www.pedisurg.com/PtEduc/Intestinal_Obstruction.htm, 2006).
Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif adalah penyumbatan yang terjadi secara parsial atau komplit, mekanik atau fungsional, yang terjadi bisa diusus halus ataupun diusus besar, dapat mengakibatkan terhambatnya pasase cairan, flatus, dan makanan.
2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1 Sistem Pencernaan

Sumber :http://www. Medicastore.com/cybermed/detail

Anatomi dan fisiologi ini diambil menurut beberapa sumber, diantaranya : frances Donovan Monahan (1998), anonymous www.medicastore.com (2004), Guyton dan Hall (1997), Syarifudin (1997) didapatkan bahwa sistem pencernaan merupakan suatu tatanan yang terbentuk dari adanya hubungan antara bagian yang tergabung dalam saluran pencernaan dan organ asesoris yang terletak diluar saluran pencernaan.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ asesoris yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu (gambar 1).
Karya tulis ini membahas tentang obstruksi usus, yang terjadi hanya didalam usus, baik itu usus halus maupun usus besar. Maka penulis akan membahas sekilas tentang usus halus dan usus besar yang terdapat didalam saluran pencernaan.
a. Usus Halus (Usus Kecil)
Gambar 2 Usus Halus
Sunber : http://www.adam.com/
Usus halus atau usus kecil (gambar 2) adalah saluran yang memiliki panjang ± 7 meter (23ft) dan berdiameter 2,5 cm. Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi chyme dari lambung, menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe, menyerap protein dalam bentuk asam amino, dan menyerap karbohidrat dalam bentukmonosakarida. Usus halus memanjang dari pyloric sphincter lambung sampai sphincter ileocaecal, tempat bersambung dengan usus besar.
Lapisan usus halus (gambar 3) terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu :
1) Lapisan luar adalah membran selulosa, yaitu peritornium yang melapisi usus halus dengan erat.
2) Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan serabut, lapisan luar yang memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang melingkar (serabut sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus yang turut serta dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan enzim-enzim pencernaan dan pergerakkan makanan sepanjang saluran pencernaan.. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, dan pleksus syaraf.
3) Submukosa terdiri dari jaringan ikat yang mengandung syaraf otonom, yaitu plexus of meissner yang mengatur kontraksi muskularis mukosa dan sekresi dari mukosa saluran pencernaan. Submukosa ini terdapat diantara otot sirkuler dan lapisan mukosa. Dinding submukosa terdiri atas jaringan alveolar dan berisi banyak pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan pleksus syaraf yang disebut plexus of meissner.
4) Mukosa dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi getah usus halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis) dari duodenum, jejunum, dan ileum. Produksinya dipengaruhi oleh hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini terdapat vili yang merupakan tonjolan dari plica circularis (lipatan yang terjadi antara mukosa dengan submukosa). Lipatan ini menambah luasnya permukaan sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan lebih lama pada getah cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi banyak lipatan Lieberkuhn yang bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi. Lipatan Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium silinder.


Gambar 3 Lapisan Usus Halus
Sumber : http://humdigest_1.google.com/ imgres
Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu:
1) Duodenum
Duodenum adalah yang paling pendek dari ketiganya, mualai dari dari pyloric sphincter dan bersambung kira-kira 25 cm (10in) sampai bersatu dengan jejunum. Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini tempat bermuaranya pancreas dan kantung empedu. Terdapat kelenjar blunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah kelenjar blunner akan mengeluarkan sekret cairan kental alkali.

2) Jejunum
Jejunum segmen yang tengah, kira-kira panjang 2,5 m dan bergabung dengan ileum. Di dalam usus ini, makanan mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus. Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan menjadi bubur yang lumat yang encer.
3) Ileum
Ileum panjangnya kira-kira 3,5 m (12ft) yang bertemu dengan usus besar pada ileocecal valve, sebagai pintu masuk kedalam cecum, katup ini biasanya menutup ketika absorpsi meningkat dan mencegah pergerakan bakteri dari usus besar kedalam usus halus. Disini terjadi penyerapan sari–sari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh jonjot-jonjot usus/vili. Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum menjadi semakin luas sehingga penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik. Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk menyerap zat hara. Enzim pada mikrovili menghancurkan makanana menjadi partikel yang cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot terdapat pembuluh darah halus dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam amino, sedangkan asam lemak dan gliserol masuk ke sel limfa.
b. Usus besar
Usus besar merupakan sambungan dari usus halus dan berakhir di rectum, yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter, lebarnya sekitar 5-6 cm. Usus besar ini menghasilkan lendir yang berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja. Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi, bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K, beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri di dalam usus besar. akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
Usus besar terdiri dari (gambar 4):
1) Kolon asendens (kanan)
Panjangnya 14 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Dibawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan sebagai kolon transversum


2) Kolon transversum
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon asendens sampai kolon desendens berada bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.
3) Kolon desendens (kiri)
Penjangnya ± 25 cm, terletak dibawah abdomen kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksura lienalis sampai depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.
4) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum.
Gambar 4 Usus Besar
Sunber : http://www.adam.com/
3. Etiologi
Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002),Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) mengatakan bahwa penyebab dari ileus obstruktif adalah :
a. Mekanis
1) Adhesi, sebagai perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum viseral maupun antara peritoneum viseral dengan parietal
2) Hernia, terjebaknya bagian usus pada lubang abnormal.
3) Karsinoma, tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus, atau tumor diluar usus mendesak dinding usus.
4) Massa makanan yang tidak dicerna.
5) Sekumpulan cacing
6) Tinja yang keras.
7) Volvulus, terplintir atau memutarnya usus.
8) Intussusception, masuknya satu segmen usus kedalam usus itu sendiri.
4. Patofisiologi
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan terenggang oleh cairan dan gas (70 % dari gas yang tertelan) akibat penekanan intralumen menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus kedarah. Sekitar 8 liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, karena tidak adanya absorpsi mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan merupakan sumber utama kehilangan cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang ekstra sel yang mengakibatkan syok hipotensi. Pengaruh curah jantung, pengurangan perfusi jaringan dan asidosis metabolic. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrotik, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik. Kehilangan sodium dan ion-ion klorida menyebabkan keluarnya potassium dari sel, mengakibatkan alkalosis hipovolemik.
Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002), akumulasi isi usus, cairan, dan gas terjadi didaerah diatas usus yang mengalami obstruksi. Distensi dan retensi cairan mengurangi absorpsi cairan dan merangsang lebih banyak sekresi cairan lambung. Dengan peningkatan distensi, tekanan darah lumen usus meningkat, menyebabkan penurunan tekanan kapiler vena dan arteriola. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan edema, kongesti, nekrosis, dan akhirnya rupture atau perforasi. Muntah refluk dapat terjadi akibat distensi abdomen.

5. Pathway
Obstruksi Usus





















6. Manifestasi Klinis
Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone, M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) menemukan bahwa tanda dan gejala dari ileus obstruktif adalah :
a. Obstruksi Usus Halus
1) Mual
2) Muntah, pada awal mengandung makanan tak dicerna, selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal.
3) Nyeri seperti kram pada perut, disertai kembung, nyerinya bisa berat dan menetap.
4) Demam sering terjadi, terutama bila dinding usus mengalami perforasi. Perforasi dengan cepat dapat menyebabkan peradangan dan infeksi yang berat serta menyebabkan syok.
5) Obstipasi dapat terjadi terutama pada obstrusi komplit.
6) Abdominal distention
7) Tidak adanya flatus
b. Obstruksi Usus Besar
1) Distensi berat
2) Nyeri biasanya terasa didaerah epigastrium, nyeri yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemi atau peritonitis.
3) Konstipasi dan obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplet
4) Muntah fekal laten
5) Dehidrasi laten
6) Penyumbatan total menyebabkan sembelit yang parah, sementara penyumbatan sebagian menyebabkan diare.
7. Klasifikasi
a. Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002), obstruksi usus terjadi bila sumbatan mencegah aliran normal dari isi usus melalui saluran usus. Terjadi karena dua tipe proses :
1) Obstruksi mekanik, dimana terdapat obstruksi intramural atau obstruksi mural pada dinding usus.
2) Obstruksi non mekanik atau fungsional, dimana muskulatur usus tidak mampu mendorong isi sepanjang usus.
Brunner dan suddart pun mengatakan obstruksi dapat bersifat parsial atau komplet.
b. Arif Mansejoer, dkk (2000) membagi ileus obstruktif menurut letak sumbatannya menjadi dua bagian, yaitu :
1) Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus
2) Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar


8. Komplikasi
a. Ketidakseimbangan elektrolit, akibat dari lumen usus yang tersumbat, secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70 % gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan aliran air dan natrium dari lumen usus kedarah. Oleh karena itu sekitar delapan liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak ada absorpsi mengakibatkan penimbunan intra lumen dengan cepat. muntah dan penyedotan usus
b. Asidosis metabolic
c. Perforasi, akibat dari terlalu tingginya tekanan intra lumen.
d. Syok, akibat dari kehilangan cairan yang berlebih kedalam lumen usus dan kehilangan cairan menuju ruang peritoneum setelah terjadi perforasi.
9. Penatalaksanaan Medik
a. Puasa
b. Selang nasogastrik harus dipasang, untuk dekompresi usus, mengurangi muntah, dan mencegah aspirasi.
c. Cairan parenteral dengan elektrolit, untuk perbaikan keadaan umum.
d. Intervensi bedah, dilakukan apabila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan.
e. Analgetik
f. Therapy oksigen.
B. Konsep Dasar Laparatomi
1. Pengertian
A laparotomy is a large incision made into the abdomen. Exploratory laparotomy is used to visualize and examine the structures inside of the abdominal cavity (Thomson Gale, 2006, www.google.com).
A laparotomy is a surgical incision into the abdominal cavity. This operation is performed to examine the abdominal organs and aid diagnosis. Another name for laparotomy is abdominal exploration (www.google.com)
Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa laparatomi adalah insisi bedah yang besar yang terjadi dalam abdomen.
2. Indikasi Laparatomi
Laparatomy, suatu pembedahan untuk membuka abdomen, hal tersebut direkomendasikan ketika terdapat penyakit abdomen. Indikasi laparatomy yang didapat dari (www.adam.com2006) dan (Thomson Gale, 2006, www.google.com). yaitu :
a. Apendiksitis
b. Pangkreatitis akut dan kronik (inflamasi pankreas)
c. Abses retroperitonial, abdominal, pelvis (kantong/benjolan yang infeksi)
d. Endometriosis (adanya jaringan uterine di abdomen)
e. Salpingitis (inflamasi tuba fallopi)
f. Adhesi (perlengketan jaringan pada abdomen)
g. Kanker (pada ovarium, kolon, pankreas, atau hati)
h. Bermacam-macam derajat kanker (seperti Hodgkin’s limpoma)
i. Divertikulis (inflamasi kantong usus)
j. Perforasi usus (lubang pada usus)
k. Kehamilan ektopik (kehamilan diabdomen diluar uterus)
l. Trauma abdomen
m. Ileus obstruktif
n. Peritonitis





3. Pathway
Ileus Obstruktif


Tindakan Operasi Laparatomi



















4. Manifestasi Klinik Laparatomi
a. Nyeri tekan
b. Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan
c. Kelemahan
d. Gangguan integumuen dan jaringan subkutan
e. Konstipasi
f. Mual dan muntah, anoreksia
5. Komplikasi Laparatomi
a. Haemorrhage ( pendarahan)
b. Infeksi/Peradangan, pembentukan abses.
c. Kerusakan pada organ dalam
d. Pembentukan jaringan parut internal ( adhesi)
e. Sumbatan atau sakit abdominal, yang mungkin disebabkan oleh adhesi.
6. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan keseluruhan luka adalah suatu rangkaian peristiwa yang kompleks yang mulai pada saat cidera dan dapat berlanjut untuk bulan ke tahun. Tindakan laparatomi terjadi cidera akibat insist, rangkaian peristiwa tersebut dapat membantu perawat sebagai landasan untuk menyusun atau melaksanakan asuhan keperawatan post operasi Laparatomi, terutama untuk pengelolaan luka.
Fase-fase penyembuhan luka, meliputi :
a. Fase inflamasi
Fase ini berlangsung selama dua sampai lima hari, proses yang terjadi didalamnya, yaitu :
1) Homestasis
a) Vasokontriksi, vasokontriksi pembuluh darah sehingga menghentikan perdarahan dan menurunkan masuknya mikroorganisme.
b) Platelet aggregation,
c) Tromboplastin yang menggumpal.
2) Inflamasi
a) Vasodilatasi, vasodilatasi pembuluh darah dapat menghantarkan nutrisi dan fagosit terhadap luka saat timbul tanda-tanda peradangan.
b) Fagositosis, pada saat terjadi peradangan atau infeksi sel fagosit memakan atau menghancurkan bakteri, benda asing.
b. Fase proliferase
Fase ini berlangsung selama lima hari sampai tiga minggu, proses yang terjadi didalamnya, yaitu :
1) Granulasi, pembentukan fibrobals dari kolagen, mengisi luka dan menghasilkan kapiler baru.
2) Epitelisasi, sel ini menyebar kesegala penjuru untuk menutup luka sekitar tiga cm sehingga luka dapat tertutup.
b. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun, proses penyerapan kembali jaringan yang berlebih dan membentuk jaringan baru yang tipis dan lemas, kekuatannya hanta 80 persen dari jaringan yang asli.
B. Proses Keperawatan
Prosedur pemberian asuhan keperawatan terhadap pada klien pre dan post laparatomi dilaksanakan melalui proses keperawatan. Teori dan konsep keperawatan dilakukan secara terpadu dalam tahapan yang terorganisisr melalui :
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas klien
Data yang terdapat berupa nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor registrasi, diagnosa medik.
2) Identitas penanggung jawab
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien.

b. Lingkup masalah keperawatan
Klien dengan obstruksi usus sebelum dilakukan tindakan laparotomi biasanya mengalami distensi abdomen, nyeri, mual, muntah, demam, obastipasi atau konstipasi. Klien post laparotomi sering mengalami nyeri labih dari 5 (0-10) yang merupakan efek dari insisi pembedahan.
c. Riwayat keperawatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang ditemukan ketika dilakukan pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST.
Pasien ileus obstruktif sering ditemukan nyeri kram, rasa ini lebih konstan apalagi bila bergerak akan bertambah nyeri dan menyebar pada distensi, keluhan ini mengganggu aktivitas klien, nyeri ini bisa ringan sampai berat tergantung beratnya penyakit dengan skala 0 sampai 10. Klien post laparatomi pun mengeluh nyeri pada luka operasi, nyeri tersebut akan bertambah apabila klien bergerak dan akan berkurang apabila klien diistirahatkan, sehingga klien biasanya hanya berbaring lemas. Nyeri yang dirasakan klien seperti disayat-sayat oleh benda tajam letaknya disekitar luka operasi, dengan skala nyeri lebih dari 5 (0-10).

2) Riwayat kesehatan dahulu
Klien dengan ileus obstruktif mempunyai riwayat pernah dioperasi pada bagian abdomen, yang mengakibatkan terjadinya adhesi. Klien post laparatomi biasanya mempunyai riwayat penyakit pada sistem pencernaan.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat dalam keluarga sedikit sekali kemungkinan mempunyai ileus obstruktif karena kelainan ini bukan merupakan kelainan genetik, ada kemungkinan pada keluarga dengan ileus obstruktif dan post laparatomi mempunyai riwayat penyakit kanker dan dapat pula mempunyai riwayat cacingan pada keluarga.
4) Riwayat sosial
Ada perubahan peran, pekerjaan, atau aktivitas, klien akan merasa tergantung dan membutuhkan bantuan orang lain.
5) Riwayat psikologi
Timbul kecemasan pada klien dengan ileus obstruktif, pada klien post laparatomi pun biasanya mengalami kecemasan karena keadaannya yang sakit.
6) Riwayat spiritual
Bagian yang menjelaskan tentang kepribadian, keyakinan, harapan, serta semangat dalam diri klien yang merupakan aspek penting untuk kesembuhan penyakit. Ditemukan kepasrahan klien dalam menerima kondisi penyakitnya.
7) Pola kebiasaan sehari-hari
Adanya kesulitan dalam melakukan aktivitas, adanya gangguan dalam nutrisi biasanya tidak mampu makan dan minum karena mual dan muntah, gangguan dalam tidur/istirahat, kesulitan BAB (konstipasi atau obstipasi), personal hygiene kurang terpenuhi.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi terhadap beberapa sistem tubuh secara head to toe :
1) Keadaan umum
Penderita obstruksi usus mengalami nyeri abdomen dari ringan hingga berat dengan skala 0-10, perubahan tanda-tanda vital (peningkatan suhu, takikardi, hipotensi).
Klien post laparatomi akan mengalami badan yang lemas, tanda-tanda vital tidak stabil, kadang kesadarannya akan menaglami penurunan.



2) Sistem pernafasan
Distensi abdomen menimbulkan tekanan diafragma, menghambat pengembangan rongga dada sehingga sering ditemukan sesak nafas pada pasien dengan obstruksi usus.
Pasien dengan post laparotomi dapat menunjukan hipoksia sekunder karena inefektif ventilasi sebagai komplikasi dari reseksi intestinal.
3) Sistem kardiovaskuler
Adanya sianosis, diaporesis, takikardi pada pasien obstruksi usus dan pasien post laparotomi dapat menunjukan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat.
4) Sistem pencernaan
Keadaan pencernaan pada pasien dengan obstruksi usus terdapat anoreksia dan malaise, peningkatan bising usus, kegagalan dalam mengeluarkan feses atau flatus secara rectal atau per ostomi. Klien yang mengalami distensi abdomen berat dapat terjadi kehilangan bising usus.
Klien post laparotomi terdapat keadaan mulut dan lidah kotor akibat puasa dan terpasang NGT, peristaltic usus meningkat atau menurun bahkan sampai tidak ada, penurunan berat badan serta adanya konstipasi.
5) Sistem genitourinaria
Terdapat retensi perkemihan pada pasien obstruksi usus dan terpasang kateter setelah laparotomi.
6) Sistem musculoskeletal
Pasien obstruksi usus tidak terdapat keluhan pada system ini sedangkan pasien post laparotomi dapat ditemukan penurunan aktivitas karena nyeri.
7) Sistem endokrin
Tidak terdapat keluhan mengenai komponen ini pada pasien obstruksi usus dan post laparotomi
8) Sistem integumen
Obstruksi usus dan laparotomi dapat menimbulkan turgor kulit menurun apabila terjadi kekurangan cairan
9) Sistem neurosensori
Pengkajian tentang tingkat kesadaran dan pemeriksaan nervus cranial. Tidak terdapat gangguan pada pasien ileus obtruktif dan post laparotomi.
10) Sistem genetalia
Sistem ini mencakup penyebaran rambut pubis, palpasi adanya nyeri. Biasanya klien terpasang kateter urin.


11) Sistem penglihatan
Penglihatan diperiksa dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan fungsi penglihatan. Ileus obstruktif dan laparotomi tidak mengalami gangguan sistem penglihatan.
12) Sistem pendengar
Pasien tidak mengalami kelainan dalam fungsi pendengaran
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi usus sebagai berikut :
1) Laboratorium : BUN, hematokrit, berat jenis urin meningkat, penurunan kadar serum natrium, klorida dan kalium, leukosit meningkat, terdapat penurunan sodium dan potassium.
2) Enema barium membantu menentukan bila obstruksi didalam kolon.
3) Pemeriksaan radiologis abdomen, foto rontgen bisa menunjukan lingkaran usus yang melebar, yang menunjukkan lokasi dari penyumbatan dan juga bisa menunjukkan adanya udara di sekitar usus di dalam perut yang merupakan tanda adanya perforasi.
4) Skan CT, MRI (magnetic resonance imaging), atau ultrasound membantu memastikan diagnosis.
5) Proktosigmoidoskopi membantu menentukan penyebab obstruksi bila didalam kolon
klien setelah laparotomi dibutuhkan pemeriksaan penunjang antara lain :
1) Laboratorium : elektrolit, hemoglobin, dan hematokrit.
2) Kultur urine setelah pemasangan kateter dilepaskan.
3) Kultur luka : infeksi yang diduga.
2. Diagnosa keperawatan
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien ileus obstrutif menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) sebagai berikut :
a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal, kehilangan cairan abnormal, status puasa, mual dan muntah.
c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan , mual dan muntah.
e. Nuasea berhubungan dengan nyeri, distensi abdomen, obstruksi
f. Gangguan body image berhubungan dengan efek dari kondisi atau pembedahan tubuh. Perubahan diet.
g. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis.
h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi, luka pembedahan.
i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien post laparatomi menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Marilynn E. Doengoes (2000) sebagai berikut :
a. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi.
b. Inefektif pola nafas berhubungan dengan nyeri, immobilisasi.
c. Inefektif perfusi jaringan (gastrointestinal) berhubungan dengan interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal.
e. Gangguan nyaman nyeri berhubungan dengan insisi, distensi abdomen, immobilisasi.
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nausea dan vomiting, pembatasan diet.
g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan, perubahan sensasi.
h. Kerusakan membrane mukosa mulut berhubungan dengan nasogastrik tube
i. Gangguan bodi image berhubungan dengan pembedahan, situasi krisis.
j. Inefektif disfungsi seksual berhubungan dengan nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image.
k. Ketakutan berhubungan dengan stressor lingkungan atau hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi.
l. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan.
m. Risiko konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas, penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi.
n. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, prosedur preoperative.
o. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi, tidak mengenal sumber informasi.
3. Intervansi Keperawatan
Intervansi keperawatan pada ileus obstruktif menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) :
a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.
Criteria hasil :
- Menunjukkan pernapasan yang dalam dan dangkal.
- Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal
- Kepatenan jalan nafas adekuat
- Status tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi Rasional

1 2
1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas

2. Kaji pucat dan sianosis

3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan



4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan
5. Posisikan pasien dengan semi fowler







6. Suction sesuai kebutuhan



7. Pantau terapi oksigen.





8. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam. 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi.
2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis
3. Hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial.
4. Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan.
5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas.
7. Menjaga status pernapasan klien agar tetap optimal, memberikan terapi sesuai yang dibutuhkan klien. Terapi oksigen dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen.
8. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan mobilisasi serta mengeluarkan secret.

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal, kehilangan cairan abnormal, status NPO, mual dan muntah.
Criteria hasil :
- Pasien menunjukan tanda vital stabil : sistolik tekanan darah 90 – 140 mmHg, diastolic 50 -90 mmHg, nadi = 60 -100/menit
- Urin output adekuat > 60 ml/jam
- Membrane mukosa baik, turgor kulit baik
- Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal.
Intervensi Rasional

1 2
1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut :

- Urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam











- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam
2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut :
- Osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg
- Osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg
- Serum sodium, lebih dari 145 mEq/L
- Peningkatan level BUN dan hematokrit
3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan adanya :
- Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.



- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah


4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.









5. Pantau tanda-tanda vital dan observasi kesadaran serta gejala syok.



6. Pertahankan puasa, kaji tingkat hidrasi








7. Pantau cairan perenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin


8. Kaji keadaan kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, pucat. Kaji juga kehausan, khususnya pada lansia.

9. Kaji dan laporkan adanya perubahan tingkat kesadaran, kelemahan otot dan koordinasi.




10. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi



11. Timbang berat badan setiap hari bila memungkinkan
1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi kekurangan.
- urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat.
- Indikasi adanya deficit volume cairan
2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.


3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal.
- Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium.
- Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan preload insuffisiensi.
4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan.
5. Takikardi dan hipotensi dapat mengindikasikan syok hipovolemi. Perubahan ortostatik (tekanan darah menurun 10 mmhg atau lebih dan nadi meningkat 20 kali/menit atau lebih) mengindikasikan hipovolemik.
6. Pemberian makanan dan minuman pada pasien dapat menyebabkan muntah lebih sering dan mengakibatkan alkalosis metabolic, hipokalemia atau hiponatremia. Pemenuhan volume intravaskuler dan tambahan oksigen mengurangi efek kehilangan darah dalam jaringan hingga perdarahan terkontrol.
7. Pengawasan akurat intake output menandakan keseimbangan pemberian sehingga tidak terjadi syok hipovolemik.
8. Turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, peningkatan kehausan dapat mengindikasikan hipovolemia sehingga terjadi penurunan volume cairan ekstraseluler.
9. Confusion, stupor dapat menjadi indikasi hipovolemi dan ketidakseimbangan elektrolit. Penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral karena hipovolemia. Kehilangan potassium dapat menyebabkan kelemahan otot.
10. Pembedahan dapat dindikasikan bila obstruksi berkelanjutan. Persiapan pembedahan melingkupi pasien, peralatan, anastesi dan tenaga medis.
11. Berat badan sangat menunjukkan perubahan yang signifikan ketidakseimbangan cairan.

c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.
Criteria hasil:
- Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10)
- Menunjukan rileks
- Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan
- Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik
- Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri
Intervensi Rasional

1 2
1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi





2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 – 10.

3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik.

4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus.

5. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan.


6. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat.

7. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif.



8. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang nyaman, seperti semifowler.


9. Kaji dan ajarkan melakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam. Dorong ambulasi dini.


10. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit 1. Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri Menurunkan laju metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan.
3. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.
4. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera.
5. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri.
6. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan.
7. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri.
8. Membantu mengontrol nyeri dengan mengurangi kebutuhan untuk kontraksi otot, dengan posisi semifowler mengurangi tegangan abdomen.
9. Menurunkan kekakuan otot atau sendi. Ambulasi membalikkan organ keposisi normal dan meningkatkankembalinya fungsi ketingkat normal.
10. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan lagi perhtian, dan meningkatkan kemampuan koping.

d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan , mual dan muntah.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan berat badan normal sesuai kondisi.
- Status nutrisi : keseimbangan diet intake makanan dan cairan
- Mempertahankan body mass
- Memiliki nilai laboratorium dalam batas normal (albumin, transferrin, dan elektrolit)
Intervensi Rasional

1 2
1. Berikan pasien diet tinggi protein, sesuai kebutuhan

2. Monitor hasil laboratorium khususnya transferrin, albumin dan elektrolit

3. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan deit intake makanan dan cairan

5. Fasilitasi penambahan berat badan

6. Berikan magnesium sulfate sesuai indikasi 1. Diet tinggi protein membantu mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi.
2. Pengkajian penunjang yang essensial untuk mengetahui evaluasi status nutrisi pasien.
3. Identifikasi bantuan parsial atau total dalam pemenuhan kebutuhan diri/ adl
4. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake efektif.
5. Pengkajian dasar menentukan terpenuhi/ tidak kebutuhan nutrisi.
6. Magnesium sulfate meningkatkan efektifitas thiamine.

e. Nausea berhubungan dengan nyeri, distensi abdomen, obstruksi.
Criteria hasil :
­ Pasien akan menunjukan muntah tidak ada
­ Menunjukan hidrasi adekuat (mukosa membrane lembab, tidak ada haus berlebihan/abnormal, tidak terjadi demam, kemapuan prespirasi)
Intervensi Rasional

1 2
1. Pantau tanda subjektif nausea pada pasien
2. Manajemen nutrisi :
­ Pantau berat badan










­ Turgor kulit


­ Intake kalori dan nutrient


3. Ajarkan untuk makan dengan pelan


4. Berikan antiemetik sesuai indikasi

5. Jaga klien dan sekeliling saat terjadi muntah
6. Berikan perawatan mulut setelah muntah 1. membuat data dasar, membantu dalam membuat aturan terapeutik.
2.
­ Kehilangan BAB menunjukan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada deficit nutrisi. Membantu data dasar, membantu dalam membuat aturan teurapeutik, dan menyadarkan perawat terhadap ketidakpatenan kecenderungan dalam penurunan berat badan. Diberikan untuk menghilangkan mual dan muntah
­ Turgor kulit yang buruk menunjukkan perubahan hidrasi atau berkurangnya volume cairan.
­ Mengidentifikasian kebutuhan secara adekuat, memastikan kebutuhan metabolik.
3. Dilatasi garter dapt terjadi bila pemberian makan terlalu cepat setelah periode puasa.
4. Diberikan untuk menghilangkan mual dan muntah.
5. Membantu klien dalam meningkatkan rasa aman dan nyaman.
6. Rasa tak enak, bau dan penampilan membuat peningkatan mual dan muntah. Perawatan oral mencegah ketidaknyamanan karena muntah, dan pengeringan mukosa. Mulut bersih akan meningkatkan napsu makan.


f. Gangguan body image berhubungan dengan efek dari kondisi atau pembedahan tubuh. Perubahan diet.
Criteria hasil :
- Pasien akan dapat mengidentifikasikan kekuatan personal
- Mengetahui situasi dan hubungan personal dan gaya hidup
- Mempertahankan interaksi social dan hubungan personal
- Pengetahuan actual dalam perubahan anggota tubuh
Intervensi Rasional

1 2
1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan non verbal mengenai tubuhnya.

2. Bantu pasien untuk adaptasi mempersepsikan stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya hidup.
3. Siapkan pasien untuk antisipasi krisis perkembangan atau situasi.



4. Dorong persepsi dan tingkah laku positif terhadap tubuh 1. Pasien mungkin takut atau salah paham akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan pasien.
2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan menolng pasieng menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan.
3. Intervensi spesifik untuk meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat pasien merasakan ketidaksadaran akan dirinya.
4. Tindakan memberi stimulasi dan koping adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh.

g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis.
Criteria hasil :
- Temperature tubuh normal
- Menunjukan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi Rasional
1. Awasi dan laporkan indikasi infeksi, yaitu : tanda-tanda vital, temperature tubuh, bising usus, suara nafas, karakter urin, adanya abses dalam distensi abdomen dan ikterus.

2. Berikan antibiotic sesuai indikasi


3. Sediakan kultur untuk dan testing sensitivitas sesuai indikasi, lakukan sebelum terapi antibiotic.
4. Gunakan prosedur teknik septic dan aseptic selama proses tindakan 1. Pengawasan ketat dibutuhkan karena infeksi tampak tidak hanya pada peningkatan suhu dan wbc, tapi penggunaan medikasi immunosupresi dan kondisi kronik dapat terjadi infeksi.
2. Tipe antibiotic spectrum luas seperti sulfasalazine (azulfidine) sesuai indikasi yang dibutuhkan.
3. Kultur dan tes sensitivitas menjadi tidak akurat apabila setelah pemberian antibiotic
4. Pasien dengan ileus obstruktif kemungkinan terjadi inflamasi.




h. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi, luka pembedahan.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin.
- Intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat (temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna).
Intervensi Rasional
1. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi).
2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril.

3. Minimalisir penekanan pada bagian luka.


4. Evaluasi factor yang meningkatkan kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, penurunan sensasi. 1. Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan perawatan
2. Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka.
3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang
4. Pasien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan penanganan dini.

i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
Criteria hasil :
- Pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini
- Mendemonstrasikan ketrampilan koping positif dalam menghadapi ansietas
Intervensi Rasional
1. Kaji prilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.

2. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut, berikan umpan balik.

3. Jelaskan prosedur atau tindakan dan beri penguatan penjelasan dokter tentang penyakit, tindakan, prognosis.
4. Pertahankan lingkungan yang tenang tanpa stress


5. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat. 1. Prilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/stress saat ini, meningkatkan rasa control dari pasien.
2. Membuat hubungan terapeutik. Membantu pasien dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress.
3. Melibatkan pasien dalam asuhan keperawatan dan mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.
4. Lingkungan yang tenang, mengurangi timbulnya stress dari luar, meningkatkan relaksasi, membantu menurunkan ansietas.
5. Tindakan dukungan dapat membantu pasien merasakan stressnya berkurang, menentukan energi untuk ditunjukan pada penyembuhan/perbaikan.

j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Criteria hasil :
- Mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit, rencana diet dan potensial komplikasi
- Berpartisipasi dalam program tindakan
Intervensi Rasional

1 2
1. Diskusikan penatalaksanaan diet, tekankan pentingnya makan dengan perlahan, mengunyah makanan dengan baik dan makan pada interval regular.
2. Jelaskan kebutuhan untuk menghindari konstipasi
a. Gunakan laksaif alami pelunak feses


b. Pertahankan masukan cairan 2500 ml/ hari


c. Peningkatan aktivitas sesuai toleransi




3. Berikan instruksi pada gejala untuk dilaporkan pada dokter : nyeri abdomen, kram, distensi, dan/atau mual dan muntah 1. Dengan diet yang benar makanan dapat dicerna dengan baik dan mudah diabsorpsi oleh usus..


2. Konstipasi akan menambah berat kondisi penyakit.
a. Laksatif alami lebih mudah diserap tubuh dan efek samping yang ditimbulkan olehnya minimal.
b. Masukan cairan adekuat mencegah terjadinya dehidrasi dan membantu mengurangi konstipasi.
c. Aktivitas dapat meningkatkan peristaltic usus, aktivitas yang terlalu berat dan tidak dapat ditoleransi, menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit tubuh lebih cepat.
3. Intruksi yang tepat tentng gejala yang dilaporkan bertujuan agar terapi yang diberikan tepat dan sesuai.

Intervensi post op laparotomi menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Marilynn E. Doengoes (2000) adalah sebagai berikut :
a. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi.
Criteria hasil :
- Pasien akan mempunyai kepatenan jalan nafas
- Pengeluaran sekresi efektif
- Respirasi dan ritme dalam batas normal
- Fungsi pulmonali dalam batas normal
- Mampu menyususn rencana untuk perawatan di rumah


Intervensi Rasional
1. Manajemen jalan nafas : fasilitasi kepatenan jalan nafas.
2. Suction : pembuangan sekresi dengan memasukan katetersuction pada jalan nafas pasien dan/atau trachea.

3. Terapi oksigen : pemberian oksigen dan pemantauan efektivitas.

4. Posisi : tempatkan pasien pada posisi yang nyaman dan semi fowler.







5. Pantau respirasi : kumpulkan dan analisa data pasien untuk meyakinkan kepatenan jalan nafas dan efektifitas pemberian oksigen.
1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi.
2. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran beresiko terjadi aspirasi saliva dan pemberian oksigen tambahan diindikasikan dengan jalan nafas yang bersih.
3. Kerusakan otak irreversible bisa terjadi bila periode apneu terjadi lama dan kebutuhan oksigen tidak terpenuhi.
4. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
5. Bunyi nafas abnormal ( crackles, gurgles) indikasi utama terjadinya komplikasi hipoventilasi. Peningkatan frekuensi nafas, takipneu, sianosis atau kelemahan indikasi hipovolemia. Deteksi dini dan pelaporan segera menunjang penanganan secara cepat.

b. Inefektif pola nafas berhubungan dengan nyeri, immobilisasi.
Criteria hasil :
- Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal
- Kepatenan jalan nafas adekuat
- Status tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas

2. Kaji pucat dan sianosis

3. pemberian oksigen sesuai kebutuhan



4. auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan
5. posisikan pasien dengan semi fowler







6. Suction sesuai kebutuhan 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi.
2. hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis
3. hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial.
4. crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan.
5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
6. sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas.

c. Inefektif perfusi jaringan (gastrointestinal) berhubungan dengan interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan intake nutrisi dan cairan adekuat.
- Melaporkan kecukupan energi
- Eliminasi BAB dalam keadaan normal (warna, jumlah, konsistensi dan pola)
- Status sirkulasi adekuat (perfusi jaringan perifer adekuat, TD dalam batas normal, tidak terjadi distansi vena juguralis)
- Menunjukan hidrasi yang normal (tidk terjadi asites dan udema perifer, abnormal haus tidak terjadi, demam tidak ada)

Intervensi Rasional
1. Monitor tanda-tanda vital




2. Monitor level serum elektrolit


3. Jaga laporan akuran mengenai intake dan output
4. Kaji tanda-tanda perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, membrane mukosa, sianosis.

5. Pantau status nutrisi dengan menimbnag berat badan setiap hari.

6. Berikan tambahan cairan dan elektrolit sesuai indikasi
7. Pasang NGT jika diperlukan 1. Peningkatan nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu menunjukan hipovolemia sehingga mengakibatkan kekurangan volume cairan
2. Evaluasi keakuratan data untuk perancanaan tindakan keperawatan yang komprehensif
3. Identifikasi status keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan dan kekurangan yang bisa mengakibatkan syok hipovolemik.
5. Tindakan mengontrol keadaan nutrisi untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan energi atau malnutrisi
6. Penggantian cairan dan elektrolit apabila terjadi syok hipivolemik
7. Sarana bagi pasien yang tidak mampu intake nutrisi dari oral

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal.
Criteria hasil :
- Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal.
- Urine output dalam batas normal
- Hasil hemodinamika dalam batas normal
Intervensi Rasional

1 2
1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut :

- urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam











- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam


2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut :
- osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg
- osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg
- serum sodium, lebih dari 145 mEq/L
- peningkatan level BUN dan hematokrit
3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan adanya :
- Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.



- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah


4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.









5. Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan peningkatan nadi dan perubahan tekanan darah.

6. Palpasi nadi perifer, evaluasi pengisian kapiler, turgor kulit dan status membrane mukosa.

7. Perhatikan adanya edema



8. Observasi, catat kualitas kateter drainage / ngt




9. Pantau suhu


10. Pertahankan patensi penghisapan NGT 1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi kekurangan.
- urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat.
- Indikasi adanya deficit volume cairan


2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.


3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal.
- Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium.
- Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan preload insuffisiensi.
4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan.
5. Tanda-tanda haemoragik usus dan/atau pembentukan hematoma, yang dapat menyebabkan syok hipovalemik.
6. Memberikan informasi tentang volume sirkulasi umum dan tingkat hidrasi.

7. Edema dapat terjadi karena perpindahan cairan berkenaan dengan penurunan kadar albumin serum/protein.
8. Haluaran cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan alkalosis metabolic dengan kehilangan lanjut kalium oleh ginjal yang berupaya untuk mengkompensasi
9. Demam rendah umum terjadi selam 24 -48 jam pertama dan dapat menambah kehilangan cairan
10. Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan distensi atau kekuatan pada garis jahitan dan menurunkan mual atau muntah , yang dapat menyrtai anastesi, manipulasi usus, atau kondisi yang sebelumnya ada, missal kanker.



e. Nyeri berhubungan dengan insisi, distensi abdomen, immobilisasi.
Criteria hasil :
- Melaporkan nyeri hilang
- Tampak rileks, mempu beristirahat dengan tepat
- Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan
- Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10)
- Mengakui faktor penyebab sehingga dapat menggunakan pengukuran untuk mencegah nyeri akibat
Intervensi Rasional

1 2
1. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 – 10.

2. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik.

3. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus.

4. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan.


5. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat.

6. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif.



7. Pantau tanda-tanda vital





8. Kaji insisi bedah, perhatikan edema, perubahan kontur luka (pembentukan hematoma), atau inflamasi, mengeringkan tepi luka.
9. Berikan analgesic, narkotika, sesuai indikasi. 1. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan.
2. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.
3. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera.
4. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri.
5. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan.
6. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri.
7. Respon outonomik meliputi pada tekanan darah, nadi dan pernafasan, yang berhubungan dengan keluhan / penghilang nyeri. Abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lanjut.
8. Perdarahan pada jaringan, bengkak, inflamasi local atau terjadinya infeksi dapat menyebabkan peningkatan nyeri insisi.
9. Menurunkan laju metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan. mengontrol atau mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan meningkatkan kerja sama dengan aturan terapeutik.

f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nausea dan vomiting, pembatasan diet.
Criteria hasil :
- Pendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan penambahan berat badan yang diinginkan dengan normalisasi laboratorium dan tak ada tanda-tanda malnutrisi.
- Pasien akan menunjukan berat badan normal sesuai kondisi.
- Status nutrisi : keseimbangan diet intake makanan dan cairan
- Mempertahankan body mass
- Memiliki nilai laboratorium dalam batas normal (albumin, transferrin, dan elektrolit)
Intervensi Rasional
1. Berikan pasien diet tinggi protein, sesuai kebutuhan.

2. Monitor hasil laboratorium khususnya transferrin, albumin dan elektrolit.

3. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan deit intake makanan dan cairan.

4. Tinjau factor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan untuk mencerna/makan makanan. Misal status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepas.
5. Timbang berat badan sesuai indikasi. Catat masukan dan haluaran
6. Auskultasi bising usus, palpasi abdomen. Catat pasase flatus
7. Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan makanan tinggi protein dan vitamin c




8. Pertahankan patensi selang nasogastrik

9. Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
­ Antiemetik. Misal proklorperazin (compazine).
­ Antasida dan atau inhibitor histamine, missal simetidin (tagamet)

10. Berikan cairan, tingkatkan ke cairan jernih, diet penuh sesuai toleransi setelah selang makan ng atau gastrotomi dilepas. 1. Diet tinggi protein membantu mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi.
2. Pengkajian penunjang yang essensial untuk mengetahui evaluasi status nutrisi pasien.
3. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake efektif.
4. Mempengaruhi pilihan intervensi




5. Mengidentifikasi status cairan serta memastikan kebutuhan metabolic.
6. Menentukan kembalinya peristaltic ( biasanya dalam 2 – 4 hari)
7. Meningkatkan kerja sama pasien dengan aturan diet. Protein atau vitamin adalah kontribusi utama untuk pemeliharaan jarinagn dan perbaikan. Malnutrisi adalah factor yang menurunkan pertahanan terhadap infeksi.
8. Mempertahankan dekompresi lambung/usus. Meingkatkan instirahat/pemulihan usus.
9.
­ Mencegah muntah

­ Menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi.
10. Mengkonsumi ulang cairan dan diet penting untuk mengembalikan fungsi usus normal dan meningkatkan masukan nutrisi adekuat.
g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan, perubahan sensasi.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin
- Menunjukan intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat ( temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna)
- Mencapai pemulihan luka tepat waktu tanpa ada komplikasi
Intervensi Rasional

1 2
1. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi).
2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril.

3. Minimalisir penekanan pada bagian luka.


4. Evaluasi factor yang meningkatkan kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, penurunan sensasi.

5. Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan demam, takipneu, takikardi dan gemetar. Periksa luka dengan sering terhadap bengkak insisi berlebihan, inlamasi drainage.
6. Waspadai factor resiko lanjut, misal : keganasan, seperti limfasarkoma dan mieloma multiple, terapi radiasi dan sisi operasi.


7. Berikan antibiotic sesuai indikasi 1. Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan perawatan
2. Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka.
3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang
4. Pasien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan penanganan dini.
5. Indikatif dari pembentukan hematoma atau terjadinya infeksi yang menunjang perlambatan pemulihan luka dan meningkatkan resiko pemisahan luka/dehisens.
6. Menurunkan imunokompentesi, ini mempengaruhi pemulihan luka pada infeksi. Meningkatkan vaskulitis dan fibrosis pada jaringan penyambung, mempengaruhi pengiriman oksigen dan nutrient untuk pemulihan.
7. Untuk mengatasi infeksi.

h. Kerusakan membrane mukosa mulut berhubungan dengan nasogastrik tube.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan kenyamanan dalam makan dan minum.
- Integritas kulit dan mukosa membrane (bebas dari lesi jaringan, sensasi normal).
- Hygiene mulut baik.
Intervensi Rasional
1. Identifikasi factor iritasi seperti alcohol, makan, rokok, medikasi, temperature makanan yang terlalu panas.
2. Kaji pemahaman pasien dan kemampuan untuk perawatan mulut.
3. Berikan perawatan mulut setelah makan sesuai kabutuhan.


4. Anjurkan untuk menghindari merokok dan konsumsi alcohol. 1. Iritasi memperberat kerusakan membrane mukosa sehingga control terhadap factor harus dilakuakan.

2. Tindakan evaluasi pengetahuan dan aplikasi kebiasaan perawatan mulut
3. Perawatan mulut mereduksi resiko infeksi dengan pertahanan sirkulasi untuk membrane mukosa dan penurunan bakteri mulut.
4. Alcohol, dan nikotin memproduksi plak digigi dan membuat kering serta iritasi mukosa.



i. Gangguan bodi image berhubungan dengan pembedahan, situasi krisis.
Kriteria hasil :
- Pasien akan dapat mengidentifikasikan kekuatan personal
- Mengetahui situasi dan hubungan personal dan gaya hidup
- Mempertahankan interaksi social dan hubungan personal
- Pengetahuan actual dalam perubahan anggota tubuh
Intervensi Rasional
1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan non verbal mengenai tubuhnya.

2. Bantu pasien untuk adaptasi mempersepsikan stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya hidup.
3. Siapkan pasien untuk antisipasi krisis perkembangan atau situasi.



4. Dorong persepsi dan tingkah laku positif terhadap tubuh 1. Pasien mungkin takut atau salah paham akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan pasien.
2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan menolng pasieng menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan.
3. Intervensi spesifik untuk meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat pasien merasakan ketidaksadaran akan dirinya.
4. Tindakan memberi stimulasi dan koping adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh.

j. Inefektif disfungsi seksual berhubungan dengan nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan kemauan mendiskusikan perubahan fungsi seksual.
- Meminta informasi yang dibutuhkan tentang perubahan fungsi seksual.
Intervensi Rasional
1. Monitor indicator resolusi disfungsi seksual (kapasitas intimasi).


2. Berikan informasi yang tepat untuk mengatasi disfungsi seksual (pasoman antisipasi, materi adukasi, latihan reduksi stress,focus konseling)
3. Diskusikan penyaki, situasi sehat, dan medikasi yang berpengaruh terhadap seksualitas.
4. Bantu klien untuk menyatakan perasaan akan perubahan seksualitas akibat sakitnya. 1. perubahan status kesahatan / hospitalisasi berpengaruh pada hubungan seksualitas, menggali factor penyebab disfungsi.
2. informasi actual merubah persepsi dan menurunkan tingkat kecemasan akan perubahan.


3. evaluasi pengetahuan mengenai penyakit dan pengaruh terhadap hubungan seksualitas pasien.
4. berbagi perasaan dapat membantu mengatasi pertahanan diri selama proses perubahan yang ahrus dialami.

k. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan.
Criteria hasil :
- Memcapai pemulihan luka tepat waktu, bebas dari drainage purulen atau eritema dan demam
- Temperature/suhu normal ( 360C – 370C )
- WBC dalam keadaan normal
- Tidak menunjukan tanda-tanda infeksi : nyeri, kemerahan, peningkatan suhu, bengkak, terganggunya fungsi


Intervensi Rasional
1. Observasi luka pembedahan setiap hari untuk tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, edema, nyeri, drainage,peningkatan suhu. Juga observasi tanda2 infeksi sistemik antara lain demam, lemah, leukositisis atau takikardi

2. Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu





3. Observasi penyatuan luak, keteter drainage, adanya inflamasi.
4. Pantau pernafasan, bunyi nafas. Perhatikan kepala tempat tidur ringgi 35 – 45 derajat. Bantu pasien untuk membalik, batuk, nafas dalam.

5. Pertahankan perawatan luka aseptic




6. Kultur terhadap kecurigaan drainage/sekresi, kultur baik dari bagian tengah dan tepi luar luka dan dapatkan kultur anaerobic sesuai indikasi.
7. Berikan obat-obatan sesuai indikasi, antibiotik misal cefazoline (ancel)




8. Kolaborasi awasi pemeriksaan leukosit 1. Proses pembedahan dapat mendorong terjadinya atelektasis dam hipoksia. Dehidrasi menyebabkan sputum kering sehingga peningkatan pnemonia



2. Suhu malam memuncak yang kembali normal pada pagi hari adalah karekteristik infeksi. Demam 38o segera setelah pembedahan menunjukan infeksi pulmonal atau urinarius/luka atau pembentukan tromboplebits.
3. Perkembangan infeksi dapat menghambat pemulihan
4. Infeksi pulmonal dapat terjadi karena depresi pernafasan (anastesi, narkotik), ketidakefektifn batuk (insisi abdomen), dan distensi abdomen (penurunan ekspansi paru)
5. Melindungi pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah bertindak sebagai retrograde, menyerap kontaminasi eksternal.
6. Organisme multiperl mungkin ada pada luka terbuka dan setelah bedah usus. Bakteri anaerob misal bacteriodes fragilis hanya dapat terdeteksi melaui kultur anaerobic.
7. Pemberian antibiotik propilaksis menghambat reproduksi bakteri karena itu dapat membantu mencegah kulit yang luka dari masuknya mikroorganisme Mengidentifikasi
8. leukosit sebagai indikasi dari infeksi

l. Resiko konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas, penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi.
Criteria hasil :
- Menggambarkan perbaikan diet (cairan dan serat) yang tepat untuk mempertahankan pola BAB seperti biasa.
- Tidak ada feses (segera setelah operasi), konstipasi, diare, mendapatkan kembali pola fungsi usus yang normal.
- Melaporkan saat BAB tidak nyeri dan kesulitan dalam mengejan.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan efek cairan dan serat untuk pencegahan konstipasi.


2. Berikan privasi dan keamanan bagi pasien pada saat bab.
3. Auskultasi bising usus



4. Selidiki keluhan abdomen


5. Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah.

6. Anjurkan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral diberikan.
7. Berikan pelunak feses, suposituria gliserin sesuai indikasi 1. Tindakan motivasi untuk melakukan konsumsi cairan dan serat untuk meningkatkan konsistensi feses dan pengeluaran feses.
2. Penjagaan privasi memberikan kenyamanan dalam bab
3. Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh efek depresan dari anastesi, ileus paralitik, inflamasi intraperitoneal.
4. Mungkin berhubungan dengan distensi gas atau terjadinya komplikasi missal ileus
5. Indicator kembalinya fungsi gi, mengidentifikasi ketepatan intervensi.
6. Menurunkan resiko iritasi mukosa/diare.

7. Perlu untuk merangsang peristaltic dengan perlahan/evakuasi feses.

m. Ketakutan berhubungan dengan stressor lingkungan atau hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan kontrol ketakutan dengan sarana sebagai berikut : informasi adekuat untuk mengurangi ketakutan, hindari penyebab takut, gunakan teknik relaksasi, pertahankan peran sosial dan hubungan personal, menjadi produktif.
Intervensi Rasional
1. Kaji secara subjektif dan objektif mengenai respon ketakutan

2. Informasikan kepada pasien mengenai penyakit, proses perjalanan penyakit, komplikasi dan penanganan.
3. Sediakan perawatan segera, jelaskan intervensi untuk pasien dengan bentuk singkat

4. Manajemen lingkungan dengan menjaga stabilitas lingkungan, keamanan dan kenyamanan.
5. Dorong verbalisasi mengenai perasaan akan perubahan status kesehatan.

6. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi 1. Keadaan yang ada pada pasien dengan ketakutan dapat mengakibatkan isolasi diri.
2. Wawasan tambahan bagi keluarga dan pasien sehingga dapat berpartisipasi dalam penanganan pemulihan pasien.
3. Penanganan segera menurunkan resiko isolasi sosial dan informasi prosedur perawatan membantu untuk mengatasi ketakutan.
4. Stabilitas lingkungan menunjang menurunkan stressor lingkungan

5. Tindakan motivasi pengungkapan perasaan sebagai indikator hubungan terapeutik
6. Penggunaan agen pharmacologi untuk meningkatkan istirahat dan mengurangi ansieas





n. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, prosedur preoperative.
Criteria hasil :
- Pasien akan menunjukan kemampuan focus pada pengetahuan baru dan skil
- Identifikasi gejala sebagai indicator kecemasan sendiri
- Tidak menunjukan prilaku agresiv
- Berkomunikasi dan penanganan perasaan negative dengan tepat
- Rileks dan nyaman dalam beraktivitas
Intervensi Rasional
1. Monitor pasien tanda dan gejala insietas saat pengkajian keperawatan

2. Fokuskan diskusi pada stressor yang mempengaruhi kondisi pasien



3. Diskusikan persepsi pasien akan prosedur pembedahan, ketakutan yang berhubungan dengan operasi

4. Berikan informasi prosedur sebelum operasi, penyakit pasien, dan persiapan operasi. 1. Pengkajian seksama kondisi pasien dengan ansietas memungkinkan perawat membuat priorotas perawatan.
2. Focus diskusi memfasilitasi kemampuan pasien untuk menyatakan ketakutan dan perasaan yang dirasakan dan membengun hubungan terapeutik.
3. Diskusi akan persepsi dan ketakutan membuat pasien mengekspresikan diri sendiri dan mengeksplore pengetahuannya.
4. Tindakan untuk menambah pengetahuan dan reduksi ansietas.



o. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Criteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan.
Intervensi Rasional
1. Tinjau ulang prosedur dan harapan pasca operasi

2. Diskusikan pentingnya masukan cairan adekuat, kebutuhan diet
3. Demostrasikan perawatan luka atau belutan yang tepat.


4. Tinjau ulang perawatan selang gastrotomi bila pasien dipulangkan dengan alat ini.
5. Identifikasikan tanda-tand ayang memerlukan evaluasi medis, demam menetap, bengkak, eritema, artau terbukanya tepi luka, perubahan karakteristik drainage.
6. Anjurkan peningkatan aktivitas bertahap sesuai tolernsi dan keseimbangan dengan periode istirahat yang adekuat. 1. Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2. Meningkatkan penyembuhan dan normalisasi usus.
3. Meningaktkan penyembuhan, menurunkan resiko infeksi, memberikan kesempatan untuk mengobservasi luka.
4. Meningkatkan kemandirian, meningkatkan kemampuan perawatan diri.
5. Pengenalan dini komplikasi dan intervensi segera dapat mencegah progresi situasi serius, mengancam hidup.

6. Mncegah kelelahan, merangsang sirkulasi dan normalisasi fungsi organ, meningkatkan penyembuhan.

Read More..

Asuhan Keperawatan Pada Klien Ny. A Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Post Appendiktomi Akibat Appendisitis Di R VIII RSUD XX

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Appendicitis
1. Pengertian
“Appendicitis adalah Appendiks yang mengalami obstruksi dan rentan terhadap infeksi” (Brunner & Suddarth, 1995 : 45 ).
“Appendicitis as an accute inflamation of the veriform appendix. It is a common disorder, with a peak incedence between age 20 and 40” (France Monahan Donavan, 1998 : 1063 ).
“Appendicitis mengacu pada radang appendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tidak berfungsi terletak pada bagian inferior dari seikum” ( Barbara Engram, 1998:215).
Berdasarkan tiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa appendicitis adalah peradangan pada appendiks yang biasanya terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun.
2. Jenis –jenis Appendicitis
a. Appendicitis Akut
Apendicitis akut adalah jenis appendicitis yang paling sering memerlukan pembedahan dan paling sering menimbulkan kesukaran dalam memastikan diagnosanya, karena banyak kelainan menunjukkan tanda –tanda seperti appendicitis akut. Terdapat tiga jenis appendicitis akut, yaitu :

1) Appendicitis akut fokalis (segmentalis)
Peradangan biasanya terjadi pada bagian distal yang berisi nanah. Dari luar tidak terlihat adanya kelianan, kadang hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan radang hanya terbatas pada mukosa.
2) Appendicitis akut purulenta (supuratif)
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut appendicitis gangrenosa.
3) Appendicitis akut
Dapat disebabkan oleh trauma, misalnya pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun permukaan appendiks.
b. Appendicitis kronis
Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Appendicitis akut jika tidak mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi appendicitis kronis. Terdapat dua jenis appendicitis, yaitu :
1) Appendicitis kronik focalis
Peradangan masih bersifat lokal, yaitu fibrosis jaringan submukosa. Gejala klinis pada umumnya tidak tampak.

2) Appendicitis kronis obliteratif
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendiks pada jarigan mukosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen), terutama pada bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir pada bagian itu.
3. Anatomi dan Fisiologi
Appendiks adalah bagian dari usus besar yang muncul seperti corong pada akhir seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Appendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor terletak horizontal di belakang seikum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang appendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang dapat menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen. (Syaifuddin, 1997: 80).
Panjang appendiks lajimnya adalah delapan sampai sepuluh centi meter pada orang dewasa. Terdapat dua lapisan otot di dalam dinding appendiks, yaitu lapisan dalam (sirkularis) merupakan penerusan otot seikum yang sama dan lapisan luar (longitudalis) dari penyatuan tiga tenia seikum





Tabel 1
Anatomi Appendiks yang Mengalami Peradangan


4. Etiologi
Penyebab utama appendiks adalah obstruksi atau penyumbatan yang dapat disebabkan oleh :
a. Fecalith ( massa fecal yang keras )
b. Benda asing
c. Tumor
d. Stenosis
e. Perlekatan
f. Spasme otot spinchter antara perbatasan appendiks dan seikum
g. Hiperflasia jaringan limfoid yang biasa terjadi pada anak-anak
h. Bendungan appendiks oleh adhesi
Penyebab lain appendicitis adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman – kuman seperti Escherichia coli (80%), Streptokokus tapi kuman yang lain jarang terjadi.
5. Patofisiologi
Apendiks dapat mengalami peradangan, karena adanya oklusi, kemungkinan oleh fecalith ( massa fecal yang keras ), tumor atau oleh benda asing. Proses inflamasi ini dapat meningkatkan tekanan intra abdomen yang dapat mengakibatkan kolapsnya pembuluh darah dinding appendiks. Hal in akan mengakibatkan terjadinya invasi bakteri local, seperti ; E. coli, Enterococci, dan lain –lain.
Setelah itu akan terjadi neutrofilic eksudasi yang melapisi dinding appendiks, terjadi kongesti pembuluh darah dinding subserosal, dan mukosa appendiks akan menjadi granulasi kemerahan. Kemudian terjadi peningkatan neutrofilic eksudasi, eksudat supuratif ini akan menutupi mukosa appendiks, terbentuk abses dan ulserasi pada mukosa appediks yang dapat meningkatkan perkembangan area nekrotik pada mukosa appendiks. Jika tidak terdeteksi dan diobati kan berkembang jadi hemorrhagic ulserasi yang meluas pada mukosa appendiks. Pada akhirnya akan terjadi nekrosis gangrenosa pada dinding appendiks dan terjadilah ruptur appendiks.

6. Manifestasi Klinis
a. Gejala utama pada appendicitis adalah nyeri perut yang disebabkan oleh obstruksi appendiks, karena itu sifatnya sama seperti pada obstruksi usus. Pada mulanya nyeri dirasakan samar disertai ketidaknyamanan pada area epigastric atau area preumbilikal. Setelah empat jam intensitasnya meningkat jadi kolik dan terlokalisasi di kuadran kanan bawah. Bila penderita flatus dan buang air besar rasa sakitnya berkurang. Jika appendiks ruptur akan terjadi peritonitis yang disertai nyeri lokal di kuadran kanan bawah di titik Mc. Burney ( titik pertengahan antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior ) menandakan iritasi peritonium. Nyeri perut berubah menjadi tajam dan terus –menerus. Setiap gerakan yang menyebabkan daerah itu bergerak atau teregang akan menimbulkan nyeri. Bila terjadi perforasi untuk sementara rasa sakit menghilang, tetapi kemudian muncul dengan rasa sakit yang hebat di seluruh perut karena peritonitis umum.
b. Annoreksia hampir selalu ada dan muntah merupakan hal yang khas. Muntah terjadi setelah rasa sakit, pada mulanya hilang timbul secara reflektoris.
c. Konstipasi biasa terjadi pada anak –anak, pada penderita dengan appendiks di dekat rektum biasa terjadi diare.
d. Demam yang tidak terlalu tinggi, tetapi menjadi hiperpireksi bila terjadi perforasi.
e. Kekakuan otot rektus
f. Leukositosis (kebih dari 12.000/mm3) dengan peningkatan jumlah neutrofil sampai 75%.
7. Penatalaksanaan
a. Antibiotik dan pemberian cairan parenteral, untuk mengatasi atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Analgetik diberikan setelah diagnosa appendicitis ditegakkan, tidak diberikan sebelum penegakan diagnosa karena dapat menutupi tanda dan gejala untuk diagnosa diferensial.
c. Tidak diberikan enema karena dapat menyebabkan stimulasi iritasi peristaltik pada area inflamasi yang dapat meningkatkan perforasi.
d. Appendiktomi, suatu operasi pengangkatan appendiks yang mengalami peradangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah perforasi. Appendiks diangkat melalui insisi abdomen kuadran kanan bawah yang diawali dengan anastesi umum atau spinal.
8. Komplikasi
a. Perforasi appendiks (paling umum) yang berkembang menjadi peritonitis
b. Ileus paralitik
c. Trombosis vena portal
d. Septicemia


B. Konsep Dasar Appendiktomi
1. Pengertian
Appendiktomi adalah prosedur pengangkatan appendiks yang mengalami peradangan dilaksanakan di bawah anastesi umum atau spinal. Persiapan pra operasi biasanya minimal, yakni pemberian premedikasi dan persiapan kulit abdomen, sama halnya dengan operasi lainnya misal pengaturan diet dan cairan. Insisi dibuat pada abdomen kanan bawah dimana appendiks terdapat, appendiks diklem kemudian diangkat, bekas potongan dijahit dan ditutup kembali. Lapisan –lapisan kulit diperbaiki dan kulit dijahit. Drainage luka biasanya tidak diperlukan. Luka sembuh dengan cepat tanpa menimbulkan kelemahan otot. Aktivitas penuh dapat dilakukan setelah empat sampai lima minggu. Jahitan dilepas pada hari kelima sampai tujuh, pemulangan dilakukan pada hari ke empat sampai tujuh jika tidak ada komplikasi yang timbul. ( Moira Atree & Jane Merchant, 1996 :11 ).














2. Patoflow





















3. Manifestasi Post Appendiktomi
a. Nyeri pada area luka operasi yang kemungkinan dapat menghambat aktivitas disertai kekakuan pada abdomen dan paha kanan.
b. Mual dan muntah.
c. Keterbatasan dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
d. Dehidrasi karena adanya pembatasan masukan oral pada periode pertama post operasi.
e. Konstipasi, karena adanya pengaruh anastesi pada fungsi pencernaan.
f. Ketidaktahuan klien dalam pemulihan pasca operasi.
4. Komplikasi Post Appendiktomi
Potensial komplikasi setelah appendiktomi antara lain :
a. Peritonitis
b. Abses pelvis (lumbal)
c. Abses subfrenik (abses di bawah diafragma)
d. Ileus (paralitik dan mekanik)
5. Perawatan Post Operatif
a. membuat pengkajian post operatif seperti biasanya
b. mengukur tanda vital
c. mengukur intake dan output
d. memantau kesempurnaan drainage


e. memantau nyeri
f. memantau respirasi dan bersihan jalan napas
g. mengkaji bising usus dan toleransi klien terhadap imtake oral

B. Proses Keperawatan
Menurut Shore yang dikutip oleh Doengoes, proses keperawatan merupakan suatu proses penggabungan unsur dari kiat keperawatan yang paling diperlukan dengan unsus –unsur teori sistenm yang relevan dengan menggunakan metode ilmiah. Proses ini memasukkan pendekatan interprsonal atau interaksi dengan proses pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan. Proses keperawatan ini terdiri dari lima tahap, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Lima tahapan proses keperawatan, yaitu :
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses dimana data yang berhubungan dengan klien dikumpulkan secara sistematis. Proses ini merupakan proses yang dinamis dan terorganisir yang meliputi tiga aktivitas dasar, yaitu mengumpulkan secara sistematis, menyortir dan mengatur data yang dikumpulkan serta mendokumentasikan data dalam format yang bisa dibuka kembali.
Pengkajian digunakan untuk mengenali dan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kesehatan klien serta keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Pengkajian ini berisi :
a. Identitas
1) Identitas klien post appendiktomi yang menjadi dasar pengkajian meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis, nomor rekam medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal pengkajian.
2) Identitas penganggung jawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, hubungan dengan klien dan sumber biaya.
b. Lingkup Masalah Keperawatan
Berisi keluhan utama klien saat dikaji, klien post appendiktomi biasanya mengeluh nyeri pada luka operasi dan keterbatasan aktivitas
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang ditemukan saat pengkajian, yang diuraikan dari mulai masuk tempat perawatan sampai dilakukan pengkajian. Keluhan sekarang dikaji dengan menggunakan PQRST (paliatif and provokatif, quality and quantity, region and radiasi, severity scale dan timing). Klien yang telah menjalani operasi appendiktomi pada umumnya mengeluh nyeri pada luka operasi yang akan bertambah saat digerakkan atau ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi obat dan diistirahatkan. Nyeri dirasakan sperti ditusuk –tusuk dengan skala nyeri lebih dari lima (0-10). Nyeri akan terlokalisasi di area operasi dapat pula menyebar di seluruh abdomen dan paha kanan dan umumnya menetap sepanjang hari. Nyeri mungkin dapat mngganggu aktivitas sesuai rentang toleransi masing –masing klien.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi pengaruh pada penyakit yang diderita sekarang serta apakah pernah mengalami pembedahan sebelumnya.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan atau menular dalam keluarga.
d. Riwayat Psikologis
Secara umum klien dengan post appendicitis tidak mengalami penyimpangan dalam fungsi psikologis. Namun demikian tetap perlu dilakukan mengenai kelima konsep diri klien (citra tubuh, identitas diri, fungsi peran, ideal diri dan harga diri.
e. Riwayat Sosial
Klien dengan post appendiktomi tidak mengalami gangguan dalam hubungan social dengan orang lain, akan tetapi tetap harus dibandingkan hubungan social klien antara sebelum dan setelah menjalani operasi.

f. Riwayat Spiritual
Pada umumnya klien yang menjalani perawatan akan mengalami keterbatasan dalam aktivitas begitu pula dalam kegiatan ibadah. Perlu dikaji keyakinan klien terhadap keadaan sakit dan motivasi untuk kesembuhannya.
g. Kebiasaan Sehari –hari
Klien yang menjalani operasi pengangkatan appendiks pada umumnya mengalami kesulitan dalam beraktvitas karena nyeri yang akut dan kelemahan. Klien dapat mengalami gangguan dalam perawatan diri ( mandi, gosok gigi, keramas dan gunting kuku ), karena adaanya toleransi aktivitas yang mengalami gangguan.
Klien akan mengalami pembatasan masukan oral sampai fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Kemungkinan klien akan mengalami mual muntah dan konstipasi pada periode awal post operasi karena pengaruh anastesi. Intake oral dapat mulai diberikan setelah fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Klien juga dapat mengalami penurunan haluaran urine karena adanya pembatasan masukan oral. Haluaran urine akan berangsur normal setelah peningkatan masukan oral. Pola istirahat klien dapat terganggu ataupu tidak terganggu, tergantung toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakan.


h. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ini mencakup :
1) Keadaan Umum
Klien post appendiktomi mencapai kesadaran penuh setelah beberapa jam kembali dari meja operasi, penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung pada periode akut rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali akan mengalami ketidakstabilan pada klien yang mengalami perforasi appendiks.
2) Sistem Pernapasan
Klien post appendiktomi akan mengalai penurunan atau peningkatan frekuensi napas (takipneu) serta pernapasan dangkal, sesuai rentang yang dapat ditoleransi oleh klien.
3) Sistem Kardiovaskuler
Umumnya klien mengalami takikardi ( sebagai respon terhadap stres dan hipovolemia), mengalami hipertensi (sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan dan tirah baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula keadaan konjunctiva, adanya sianosis dan, auskultasi bunyi jantung.
4) Sistem Pencernaan
Adanya nyeri pada luka operasi di abdomen kanan bawah saat dipalpasi. Klien post appendiktomi biasanya mengeluh mual muntah, konstipasi pada awitan awal post operasi dan penurunan bising usus. Akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah bekas sayatan operasi.
5) Sistem Perkemihan
Awal post operasi klien akan mengalami penurunan jumlah output urine, hal ini terjadi karena adanya pembatasan intak oral selama periode awal post appendiktomi. Output urine akan berangsur normal seiring dengan peningkatan intake oral.
6) Sistem Muskuloskeletal
Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi dan kekakuan . Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi aktivitas.
7) Sistem Integumen
Akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah karena insisi bedah disertai kemerahan (biasanya pada awitan awal). Turgor kulit akan membaik seiring dengan peningkatan intake oral.
8) Sistem Persarafan
Umumnya klien dengan post appendiktomi tidak mengalami penyimpangan dalam fungsi persarafan. Pengkajian fungsi persafan meliputi : tingkat kesadaran, saraf kranial dan refleks.
9) Sistem Pendengaran
Pengkajian yang dilakukan meliputi : bentuk dan kesimetrisan telinga, ada tidaknya peradangan dan fungsi pendengaran.
10) Sistem Endokrin
Umumnya klien post appendiktomi tidak mengalami kelainan fungsi endrokin. Akan tetapi tetap perlu dikaji keadekuatan fungsi endrokin (thyroid dan lain –lain)
i. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) haemoglobin yang rendah dapat mengarah kepada anemia akibat kehilangan darah
b) peningkatan leukosit dapat mengindikasikan adanya infeksi
2) Radiology
j. Terapi dan Pengobatan
Pada umumnya klien post appendiktomi mendapat terapi analgetik untuk mengurangi nyeri dan antibiotik sebagai anti mikroba.
2. Diagnosa Keperawatan
“Menurut Nanda, diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat.” ( Marilyn. E. Doengoes, 1999 : 8).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien post appendiktomi antara lain :
a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, prosedur invasif.
b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik : proses penyembuhan
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan.
d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan.
e. Kurang perawatan diri (diuraikan) berhubungan dengan kelemahan post operatif, nyeri.
f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi pembedahan
g. Risiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca operasi), peningkatan kebutuhan nutrisi sekunder terhadap pembedahan.
h. Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan, perubahan diet, immobilisasi.
i. Kurang pengetahuan mengenai (diuraikan) berhubungan dengan kurang terpapar informai, tidak mengenal sumber informasi.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan adalah bukti tertulis dari tahap pengkajian dan identifikasi masalah dan merupakan tahapan dalam proses keperawatan yang mengidentifikasi masalah atau kebutuhan klien, tujuan atau hasil dan intervensi serta rasionalisasi dari intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam menangani masalah atau kebutuhan klien. (Marilyn.E. Doengoes, 1999 : 105)
a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, prosedur invasif
1) Definisi : suatu keadaan dimana individu berisiko terkena agen oportunitis atau patogenis (virus, jamur, bakteri, protozoa atau parasit lain) dari berbagai sumber dari dalam maupun dari dari luar tubuh.
2) Batasan karakteristik ;
a) Data subyektif :
(1) kaji keluhan :
(a) demam terus menerus atau intermiten
(b) infeksi sebelumnya
(c) nyeri atau pembengkakan
b) Data obyektif
1) adanya luka (pembedahan, terbakar, invasif, terluka sendiri)
2) suhu meningkat
(3) status nutrisi
3) Kriteria hasil :
Meningkatkan penyembuhan luka dengan optimal, bebas tanda infeksi atau inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam


4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.




2.




3.


4.



5.


6.




7. Mandiri :
Awasi tanda vital perhatikan menggigil (demam), berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen
Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka secara aseptik. Berikan perawatan luka secara menyeluruh
Lihat insisi dan balutan. Catat kakakteristik luka / drainage, adanya eritema
Berikan informasi yang tepat, jujur pada klien atau orang terdekat
Kolaborasi :
Ambil contoh drainage, jika diperlukan

Berikan antibiotik sesuai indikasi



Bantu irigasi dan drainage jika diperlukan
Dugaan adanya infeksi pada luka operasi




Menurunkan risiko terjadinya infeksi




Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya
Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas

Kultur pewarnaan gram dan sensitivitas berguna untuk mengientifikasi organisme penyebab dan pilihan intervensi
Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk meurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen
Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir


b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik : proses penyembuhan
1) Definisi : keadaan dimana seseorang mempunyai risiko terjadinya dehidrasi vaskuler, interstitial, intraseluler.
2) Batasan karakteristik

a) Mayor
(1) Ketidakcukupan masukan oral
(2) Tidak adanya keseimbangan antara intake dan output
(3) Membran mukosa atau kulit kering
(4) Berat badan kurang
b) Minor
(1) Peningkatan natrium darah
(2) Penurunan atau peningkatan output urine
(3) Sering berkemih
3) Kriteria hasil
Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membran mukosa, turgor kulit, tanda vital stabil dan secara individual output urine adekuat.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.

2.


3.


4.


5.



6.



7.





8. Mandiri :
Awasi tekanan darah dan nadi

Lihat membran mukosa ; kaji turgor kulit dan pengisian kapiler
Awasi intake dan output ; catat konsentrasi, berat jenis

Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus
Berikan sejumlah kecil cairan jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan diet sesuai toleransi
Berikan perawatan mulut dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir
Kolaborasi :
Pertahankan penghisapan gaster / usus




Berikan cairan IV dan elektrolit
Tanda yang membantu mengidentifikasi fuktuasi volume intravaskuler
Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler

Output urine yang pekat fan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi atau kebutuhan cairan meningkat
Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan peroral

Menurunkan iritasi gaster / muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan


Dehidrasi menyebabkan bibir dan mulut kering dan bibir pecah- pecah


Selang nasogastrik biasanya dimasukan pada pra operasi dan dipertahankan pada fase awal pasca operasi untuk dekompresi usus, meningkakan dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah
Peritoneum bereaksi terhadap iritasi atau infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolamia (dehidrasi) dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit

c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan
1) Definisi : keadaan dimana individu berada atau berisiko mengalami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan, berakhir dari satu detik sampai kurang dari enam bulan
2) Batasan karakteristik
a) Data Subyektif
Komunikasi (verbal / kode) dari pemberi gambaran nyeri.
b) Data Obyektif
(1) Perilaku melindungi, protektif
(2) Memfokuskan pada diri sendiri
(3) Penyempitan fokus ( perubahan persepsi )
(4) Perilaku distraksi ( merintih, menangis, mencari orang lain untuk aktivitas, gelisah )
(5) Wajah tampak menahan nyeri (meringis)
(6) Perubahan pada tonus otot ( dari malas sampai kaku )
(7) Diphoresis, perubahan tekanan darah dan nadi, peningkatan atau penurunan napas
3) Kriteria hasil
Melaporkan nyeri hilang / terkontrol, tampak rileks mampu tidur/istirahat dengan tepat.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.



2.

3.



4.



5.


6.

7. Mandiri :
Kaji nyeri, catat lokasi, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan adanya perubahan nyeri
Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
Dorong ambulasi dini



Berikan aktivitas hiburan


Kolaborasi :
Pertahankan status puasa sampai peristaltik kembali normal
Berikan analgesik sesuai indikasi
Berikan kantong es pada abdomen

Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya perkembangan infeksi pada luka
Menghilangkan tegangan abdomen yang meningkat dengan posisi terlentang
Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen
Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping

Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/muntah

Menghilangkan nyeri, mempermudah kerjasama dengan intervensi lain
Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kongesti jaringan



d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan
1) Definisi : penurunan kapasitas fisioligis seseorang untuk memperthankan aktivitas sampai ke tingkat yang diinginkan
2) Batasan karakteristik
a) Mayor
(1) Perubahan respon fisiologis terhadap aktivitas ; pernapasan ( dyspneu, hyperpnea, penurunan frekuensi )
(2) Nadi ( lemah, menurun atau meningkat berlebihan, perubahan irama, gagal untuk kembali ke tingkat aktivitas setelah tiga menit )
(3) Tekanan darah ( gagal meningkat dengan aktivitas, diastolik meningkat lebih dari 15 mmHg )
b) Minor
Kelemahan, kelelahan, pucat / sianosis, kacau mental, vertigo
3) Kriteria hasil
Klien akan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, dengan tanda : klien mampu beraktivitas secara progresif dan kemampuan melakukan aktivitas.



4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.


2.




3.

4.


5.

6.





7.





8.

9.
Mandiri :
Dorong kemajuan tingkat aktivitas klien setiap pergantian shift
Tingkatkan aktivitas perawatan diri klien dari perawatan diri parsial sampai lengkap sesuai indikasi

Kaji kemampuan klien untuk melakukan akti vitas
Awasi tanda vital selama aktivitas

Kaji dan beri motivasi klien untuk beraktivitas
Beri penjelasan pentingnya mobilisasi




Anjurkan dan bantu untuk mobilisasi dini, tingkatkan aktivitas secara bertahap, misal : bantu klien untuk posisi miring kanan/kiri, duduk, berdiri dan berjalan
Ubah posisi klien secara bertahap
Anjurkan klien untuk menghentikan aktivitas bila terdapat palpitasi, kelemahan dan nyeri hebat


Peningkatan aktivitas secara bertahap memungkinkan sistem kardiopumonal untuk kembali paa keadaan normalnya
Partisipasi klien dalam perawatan diri memperbaiki fungsi fisiologisnya dan mengurangi kelelahan akibat ketidakaktifan dan juga memperbaiki harga diri dan kesejahteraannya
Mempengaruhi dalam pengambilan intervensi
Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa sejumlah oksigen yang adekuat ke jaringan
Patokan dalam pilihan intervensi

Meningkatkan pemahaman klien, agar mampu beraktivitas sesuai rentang yang da mobilitasi dini dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat memperbaiki toleransi aktivitas, memperbaiki tonus otot dan tanpa kelemahan
Membantu klien beraktivitas sesuai rentang yang dapat ditoleransi




Memfasilitasi aktivitas sesuai kemampuan

Regangan secara tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang tidak dapat ditoleransi
dapat ditoleransi
e. Kurang perawatan diri (diuraikan) berhubungan dengan kelemahan post operatif, nyeri
1) Definisi : keadaan dimana individu mengalami gangguan untuk melakukan sebagian atau seluruh aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
2) Batasan karakteristik
a) Mayor
(1) Tidak mampu makan sendiri
(2) Tidak mampu mandi sendiri ( termasuk menggosok gigi, menggunting kuku, mengikat rambut dan memakai kosmetik )
(3) Tidak mampu memakai baju sendiri
(4) Tidak mampu melakukan toileting sendiri
(5) Tidak mampu memakai peralatan sendiri
3) Kriteria hasil
Klien akan melakukan aktivitas perawatan diri sampai batas kemampuan fisiknya
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.


2.



3.



4.

Mandiri :
Berikan perawatan fisik sesuai kebutuhan

Bantu klien menyimpan barang –barang pribadinya dalam jangkauan

Instruksikan klien untuk melakukan latihan kaki yang diprogramkan delapan sampai sepuluh kali dalam sejam
Yakinkan klien bahwa meski meski perawat hanya meluangkan waktu singkat di ruangan, seseorang akan segera datang jika dibutuhkan

Perawatan dasar penting untuk mempertahankan hygiene yang baik saat klien tidak dapat melakukannya sendiri
Akses mudah mengurangi kebutuhan untuk bergerak


Gerakan otot pasif atau aktif membantu mempertahankan integritas kulit, range of motion penuh pada sendi dan sirkulasi adekuat selama periode penurunan mobilitas
Penenangan dapat menurunkan rasa takut akan tidak adanya staf dan dapat menghilangkan perasaan terisolasi

f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi pembedahan
1) Definisi : keadaan dimana seseorang mengalami atau berada pada kondisi rusaknya jaringan integumen.
2) Batasan karakteristik
a) Mayor
Kerusakan pada integumen, invasi struktur tubuh
b) Minor
Lesi, edema, eritema
3) Kriteria hasil
Mendemonstrasikan tinglah laku atau teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan unutk mencegah komplikasi.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.



2.



3.





4.



5.




6.



7.

8.





9.



10.


11. Mandiri :
Beri penguatan pada balutan awal atau penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik aseptik yang ketat
Secara hati –hati lepaskan perekat ( sesuai arah pertumbuhan rambut ) dan balutan waktu diganti
Gunakan barier kulit sebelum perekat jika diperlukan. Gunakan perekat yang halus (hipoalergik) untuk membalut luka yang membutuhkan penggantian yang sering
Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit

Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka



Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal atau telapak tangan selama batuk
Ingatkan klien untuk tidak menyentuh area luka
Biarkan terjadi kontak antara udara dan luka sedini mungkin atau tutup luka dengan kain kassa tipis sesuai kebutuhan.

Kolaborasi :
Berikan es pada daerah luka jika dibutuhkan


Gunakan korset pada abdominal jika dibutuhkan

Beri anti biotik sesuai indikasi
Melindungi luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi. Mencegah akumulasi cairan yang dapat menyebabkan ekskoriasi

Mengurangi risiko trauma pada kulit dan gangguan pada luka


Menurunkan risiko terjadinya trauma pada kulit dan memberikan perlindungan tambahan untuk kulit atau jaringan yang halus


Pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan luka / berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius
Menurunnya cairan menandakan adanya evolusi dari proses penyembuhan luka, apabila penurunan cairan terus –menerus adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi
Menetralisasi tekanan pada luka, meminimalkan terjadinya ruptura


Mencegah kontaminasi luka

Membantu mengeringkan luka dan memfasilitasi proses penyembuhan luka. Pemberian cahaya mungkin diperlukan untuk mencegah iritasi bila tepi luka bergesekan dengan pakaian

Menurunkan pembentukan edema yang mungkin menyebabkan tekanan yang tidak dapat diidentifikasi pada luka selama periode pasca operasi tertentu
Memberi pengencangan tambahan pada insisi yang berisiko tinggi ( misal pada klien yang obesitas
Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk meurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen dan membantu penyembuhan luka


g. Risiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca operasi), peningkatan kebutuhan nutrisi sekunder terhadap pembedahan
1) Definisi : suatu kondisi dimana individu berada atau mengalami risiko penurunan berat badan karena ketidakadekuatan masukan oral maupun peningkatan kebutuhan metabolisme


2) Batasan karakteristik
a) Mayor
Seseorang yang dilaporkan mengalami ketidakcukupan masukan oral atau mengalami penurunan berat badan
b) Minor
(1) Berat badan menurun 10-20% dibawah normal dan tinggi serta kerangka tubuh tidak ideal
(2) Lipatan kulit trisep, lingkar lengan atas dan lingkar otot pertengahan lengan kurang dari 60% normal
(3) Kelemahan dan nyeri otot
(4) Mudah tersinggung dan bingung
(5) Penurunan albumin serum
(6) Penurunan transferin / kapasitas pengikat zat besi
3) Kriteria hasil
Klien menunjukkan kebutuhan nutrisi yang adekuat, seimbang antara intake dan output.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.




2.





3.

4.



5.

6.


7. Mandiri :
Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal



Pantau status hipermetabolisme ( hiperglikemia, keseimbangan nitrogen negatif, penurunan berat badan, peningkatan frekuensi pernapasan
Ambil tindakan untuk menurunkan nyeri
Evaluasi kemungkinan mual dan muntah


Lakukan tindakan untuk mengurangi mual dan muntah
Pertahankan hygiene oral yang baik

Berikan agen anti mimetik sebelum makan bila diindikasikan
Penyembuhan luka memerlukan masukan cukup protein, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk pembentukan fibroblas dan jaringan granulasi serta pembentukan kolagen
Hipermetabolisme diperkirakan tiga sampai empat kali pada hari pertama pasca operasi. Nutrisi adekuat akan mengembalikan fungsi metabolik yang normal


Nyeri menyebabkan keletihan dan mual yang dapat menurunkan nafsu makan
Pengertian klien tentang sumber dan kenormalan mual dan muntah mengurangi ansietas yang dapat membantu mengurangi gejala
Memberikan perbaikan masukan oral saat tidak mual dan muntah
Mulut yang bersih dan segar dapat merangsang nafsu makan dan mengurangi mual
Antimimetik mencegah mual dan muntah


h. Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan, perubahan diet, immobilisasi
1) Definisi : suatu keadaan dimana individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang dan keras.
2) Batasan karakteristik
a) Mayor
(1) Bentuk feses keras
(2) Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu
b) Minor
(1) Penurunan bising usus
(2) Keluhan rektal penuh
(3) Keluhan tekanan pada rektum
(4) Mengejan dan nyeri waktu defekasi
(5) Perasaan pengosongan tidak adekuat
3) Kriteria hasil
Klien menunjukkan fungsi defekasi yang adekuat.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.


2.


3.




4.
Mandiri :
Kaji bising usus untuk menentukan kapan memberikan cairan
Jelaskan efek aktivitas harian pada eliminasi. Bantu ambulasi sesuai kebutuhan
Tingkatkan faktor –faktor yang membantu eliminasi yang optimal ( diet seimbang, masukan cairan yang adekuat, stimulasi lingkungan rumah )
Beri tahu dokter bila bising usus tidak terdengar dalam dalam enam sampai sepuluh jam pasca operasi atau bila tidak terjadi elminasi dalam dua sampai tiga hari pasca operasi

Adanya bising usus menunjukkan kembalinya peristaltik

Aktivitas mempengaruhi eliminasi usus dengan memperbaiki tonus otot abdomen dan merangsang nafsu makan serta peristaltik
Diet seimbang tinggi serat merangsang peristaltik. Masukan cairan yang adekuat diperlukan untuk mempertahankan pola defekasi dan meningkatkan konsistensi feses

Tidak adanya bising usus dapat menandakan paralitik ileus, tidak adanya defekasi dapat menandakan obstruksi


i. Kurang pengetahuan ( diuraikan ) berhubungan dengan kurang terpapar informasi, tidak mengenal sumber informasi
1) Definisi : suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan pengetahuan kognitif / keterampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan keperawatan
2) Batasan karakteristik
a) Mayor
(1) Menyatakan kurang pengetahuan / keterampilan / meminta informasi
(2) Mengekspresikan persepsi yang tidak akurat terhadap kondisi kesehatannya
(3) Menampilkan secara tidak tepat perilaku sehat yang diinginkan atau sudah ditentukan
b) Minor
(1) Kurang integrasi rencana tindakan ke dalam kegiatan sehari hari
(2) Menunjukkan ekspresi gangguan psikomotor, misal cemas dan depresi
3) Kriteria hasil
Menyatakan pemahaman proses penyakit dan perawatan yang dianjurkan serta berpartisipasi dalam program pengobatan.
4) Intervensi
No Intervensi Rasionalisasi


1 2 3

1.

2.








3.



4.
Mandiri :
Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi
Diskusikan fase pemulihan setelah operasi ( hal yang harus dan tidak boleh dilakukan setelah operasi, mengenai mobilitas dini, olahraga, mengangkat beban berat, penggunaan pakaian diskusikan cara perawatan insisi )
Diskusikan cara perawatan insisi


Diskusikan gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri, edema luka, kemerahan dan demam)

Memberikan informasi untuk intervensi yang sesuai
Pemahaman tentang tindakan yang harus dan tidak boleh dilakukan dapat meningkatkan proses penyembuhan







Pemahaman meningkatkan kerjasama dengan program terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan
Upaya intervensi menurunkan risiko komplikasi serius, contoh lambatnya penyembuhan


4. Implementasi
“Implementasi adalah tahap keempat dalam proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan (melaksanakan intervensi yang telah ditentukan sebelumnya)” (Marilyn.E.Doengoes , 1999: 105).
5. Evaluasi
“Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan dimana merupakan proses yang kontinyu yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang dilakukan dengan meninjau respon klien untuk menentukan keefektifan rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien” (Marilyn.E.Doengoes 1999: 105).

Read More..